Jumat, 31 Agustus 2018

Laporan Perencanaan Kawasan Bisnis (2017)



I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia mempunyai keragaman yang tinggi dalam ekosistem (teresterial dan akuatik) serta bentukan fisik (features, forms, and forces). Keragaman ini merupakan daya tarik utama yang menjadikan wilayah pesisir sebagai wilayah yang paling berpotensi, terutama dalam pengembangan sektor pariwisata karena memiliki berbagai potensi wisata alam. Salah satu potensi wilayah pesisir di Indonesia yang memiliki potensi disektor  pariwisa berada di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa Kecamatan Konolo Timur, Kabupaten Konawe Selatan. Dimana ditempat ini terdapat suatu kawasan hutan mangrove  yang  masih  terjaga, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan suatu kawasan bisnis pariwisata yang berbasis masyarakat dan ekowisata.
 Wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan. Namun seiring dengan berkembangnya industri pariwisata ini, kawasan pesisir mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks. Tingkat kerusakan ekologis pada beberapa daerah pesisir, tersebut telah mencapai atau  melampaui daya  dukung  lingkungan  dan kapasitas keberlanjutannya,  sehingga  diperlukan  tindakan-tindakan   perbaikan   dalam bentuk perencanaan fisik kawasan pariwisata di daerah pesisir pantai. Salah satu upaya  yang  dapat  dilakukan  untuk  perkembangan  pariwisata daerah adalah melalui perencanaan kawasan yang berkonsep ekowisata.
Ekowisata merupakan suatu konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian yang bertujuan mengintegrasikan tujuan konservasi alam dengan tujuan pembangunan ekonomi dengan melibatkan masyarakat lokal. Pada wilayah pesisir Desa Amolengo dan Desa Ulunesa mempunyai suatu kawasan hutan mangrove yang memiliki potensi sebagai tempat pembangunan kawasan bisnis pariwisata berbasis ekowisata, dimana didalamnya dapat disajikan atraksi perahu kayuh  atau sepeda air, atraksi jembatan gantung dan Flying Fox diatas hutan mangrove.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penting untuk melakukan suatu  uraian perencanaan kawasan bisnis yang berbasis ekowisata, agar dalam proses pembangunan dan pelaksanaan nantinya, kawasan bisnis ini dapat berjalan dengan lancar serta dapat menghindari berbagai bentuk resiko-resiko yang dapat mengancam keberlanjutan hujan mangrove atau bisnis pariwisata itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa potensi ekowisata di daerah pesisis Desa Amolengo dan Desa Ulunesa?
2.      Prinsip apa saja yang harus dipakai dalam perencanaan kawasan bisnis pariwisata pada daerah pesisir  ?
3.      Bagaimana strategi pengembangan bisni pariwisata berbasis ekowisata dan masyarakat ini ?
4.      Apa saja manfaat yang ditimbulkan kawasan bisnis pariwisata ini untuk masyarakat pesisir  ?
C. Tujuna dan Manfaat
            Tujuan praktikum ini, untuk melihat bisnis yang sesuai untuk diterapkan pada Kawasan Hutan Mangrove di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa, selanjutnya merencanakan prinsip dan strategi dalam pembangunan dan pengembangan kawasan bisnis di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa, Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe Selatan
Manfaat praktikum ini yaitu, untuk memanfaatkan potensi sumberdaya hayati yang dimiliki daerah Kecamatan Kolono Timur, selain itu dengan perencanaan kawasan bisnis ini, masyarat sekitar dapat memperoleh peningkatan ekonomi keluarga mereka dengan ikut terlibat dalam pengelolaan dan pemasaran bisnis ini

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Perencanaan Kawasan Pariwisata di Wilayah Pesisir
            Rumusan ekowisata sendiri sebenarnya pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos –Lascurain pada tahun 1987 sebagai berikut: “Ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini”, bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan. Rumusan yang dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain tersebut belumlah cukup untuk menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap hanyalah penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, sebagai berikut: “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”.
Ekowisata merupakan upaya untuk    memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan bagi kehidupan masyarakat sekitar pesisir. (Alam, 2012). Setelah berlakunya Undang – undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, istilah objek wisata diganti menjadi daya tarik wisata yang mengandung pengertian segala sesuatu keunikan, keindahan dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Dari pemahaman mengenai potensi ekowisata tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi ekowisata terkait dengan penawaran wisata.
Menurut Damanik dan Weber (2006), Elemen penawaran wisata terdiri atas :
a.       Atraksi. Atraksi dibedakan menjadi atraksi yang tangible dan intangible yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan baik yang berupa kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia. 
b.      Aksesbilitas. Cakupan aksesbilitas yaitu keseluruhan sarana dan prasarana transportasi yang melayani wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata.
c.        Amenitas. Fungsi Amenitas lebih kepada pemenuhan kebutuhan wisatawan sehingga sering kali tidak berhubungan langsung terkait dengan bidang pariwisata.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah wilayah pesisir terdiri atas sumber daya hayati, sumber daya non-hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi  gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
Sumberdaya alam yang produktif ekosistem pesisir dan laut merupakan penyedia jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan ekosistem pesisir dan laut merupakan lokasi indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau parawisata (Bengen, 2004).
Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan  merupakan kebijakan penting Depatermen Kalutan dan Perikanan. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah peisisr dan laut secara ekologis dan ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Pengembangan ekowisata merupakan salah satu alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah tersebut (Tuwo, 2011).
B. Prinsip Perencanaan Kawasan Pariwisata pada Daerah Pesisir
            Menurut Kusnadi (2014), Prinsip – prinsip perencanaan kawasan pariwisata pada wilayah pesisir dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan berikut:
a)      Mengetahui profil wilayah kawasan pesisir yang menjadi perencanaan seperti kondisi fisik alam,
b)      Sosial budaya dan ekonomi kawasan pesisir yang menjadi kawasan perencanaan seperti kehidupan atau taraf sosial masyarakat yang tinggal pada kawasan pesisir tersebut contohnya peluang usaha.
c)      Aksesbilitas kawasan pesisir yang menjadi kawasan perencanaan yaitu, akses jaringan transportasi yang baik untuk mencapai kawasan pariwisata pesisir tersebut.
d)     Amenitas Wisata merupakan segala sesuatu yang memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk memenuhi kebutuhannya selama berwisata dikawasan pesisir tersebut. Kondisi terkini dari amenitas (fasilitas pelayanan) berupa hotel dan akomodasi serta restoran (rumah makan).
e)      Atraksi Wisata adalah segala sesuatu yang disuguhkan oleh pemerintah maupun masyarakat  yang dapat menambah minat para wisatawan untuk datang pada kawasan pesisir yang berbasis ekowisata. Contohnya, atraksi kesenian, surfing ( apabila memiliki ombak yang bagus ).
Tuwo (2011), menjelaskan beberapa prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi agar dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut :
1.      Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal.
2.      Mendidik atau menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi.
3.      Mangatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan management pengelola kawaasan peletarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.
4.      Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata.
5.      Keuntungan ekonomi yang diperoleh secara nyata dari kegiatan ekowisata harus dapat mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dan laut.
6.      Semua upaya pengembangan, termaksud pengembangan  fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga keharmonisasian dengan alam.
7.      Pembatasan pemenuhan permintaan, karena umumnya daya dukung ekosistem alamiah lebih rendah daripada daya dukung ekosistem buatan.
8.      Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata,  maka  devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proposional dan adil untuk pemerintah pusat dan daerah.
C. Manfaat Dan Dampak Kawasan Pesisir Berbasis Ekowisata
a. Manfaat Kawasan Pesisir sebagai kawasan Ekowisata.
Nugroho dan Dahuri (2012), juga menjelaskan posisi kritikal dalam pengembangan ekowisata sesungguhnya terletak pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau pemda. Di tingkat lokal tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata dan permintaan pengunjung. Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi kendala seperti dihadapi bisnis umumnya. Namun jasa ekowisata perlu lebih serius ditangani agar supaya menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi lingkungan dan budaya setempat.
Kawasan relatif  baru yang memiliki potensi sumberdaya alam yang baik juga memerlukan adanya  pemasaran yang baik pula. Dimana pemasaran memberikan kebutuhan akan kegiatan manusia melalui proses pertukaran. Faktor-faktor yang merupakan inti pemasaran adalah produk, harga, promosi dan distribusi. Kebijaksanaan bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang kepa-riwisataan, usaha swasta atau pemerintah, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, na-sional dan internasional harus diupayakan mencapai kepuasan optimal wisatawan. Ke-butuhan-kebutuhan wisatawan dapat dipenuhi dan pelaku usaha wisata memperoleh keuntungan yang wajar (Sudirman, 2013).
Aktivitas ekowisata saat ini tengah menjadi tren yang menarik yang dilakukkan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk-bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukkan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Satria, 2009).
b. Dampak  Kawasan Pesisir sebagai kawasan Ekowisata.
Satria (2009), menjelaskan walaupun banyak nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep ekowisata, namun model ini masih menyisakan persoalan terhadap pelaksanaanya. Beberapa kritikan terhadap konsep ekowisata
antara lain:
1.      Dampak negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Meski konsep ecotourism mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini selain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar dan turis tentang konsep ekowisata, juga disebabkan karena lemahnya manajemen dan peran pemerintah dalam mendorong upaya konservasi dan tindakan yang tegas dalam mengatur masalah kerusakan lingkungan.
2.      Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Dalam pengembangan wilayah Ekowisata seringkali melupakan partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata. Masyarakat sekitar seringkali hanya sebagai obyek atau penonton, tanpa mampu terlibat secara aktif dalam setiap proses-proses ekonomi didalamnya.
3.      Pengelolaan yang salah. Persepsi dan pengelolaan yang salah dari konsep ekowisata seringkali terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Hal ini selain disebabkan karena pemahaman yang rendah dari konsep Ekowisata juga disebabkan karena lemahnya peran dan pengawasan pemerintah untuk mengembangkan wilayah wisata secara baik.
Mengembangkan pengelolaan ekowisata, diperlukan koordinasi antar  lembaga dalam penanganan wisata diperlukan untuk menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir. Adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Konservasi sumber daya alam tetap merupakan isu utama dalam pengelolaan wisata bahari di kawasan pesisir. Perkembangan pariwisata juga bergantung pada aspek suprastruktur dan infrastrukur. Aspek suprastruktur merupakan fasilitas penunjang untuk  pengunjung seperti penginapan, restoran, kolam renang, dll. Aspek infrastruktur  meliputi ketersediaan air bersih, pembuangan sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport, jalan, pelabuhan, dll. Tanpa adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan menyebabkan dampak negatif (Amanah dan Utami, 2006).
Setyadi dkk (2012),  mengungkapkan bahwa kendala dalam pengembangan ekowisata diantaranya adalah mengenai jarak tempuh suatu kawasan wisata berada dan pusat kota, aksesibilitas, peran pelaku pembangungan (masyarakat dan pemerintah) , pengetahuan tentang konsep ekowisata yang masih terbatas, dan tingkat kunjungan wisatawan yang masih rendah.
D. Strategi Pengelolaan Potensi Ekowisata
Pengelolaan potensi ekowisata merupakan upaya untuk memanfaatkan hingga mendayagunakan potensi–potensi wisata khususnya potensi ekowisata untuk  kepentingan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata secara umum serupa dengan konsep pengelolaan kegiatan  yang berhubungan dengan pemanfaatan potensi alam. Sejumlah kawasan yang  memiliki daya tarik wisata alam yang umumnya merupakan daerah yang  ditetapkan sebagai pusat kegiatan pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Untuk  itu dalam pemanfaatan nantinya perlu menerapkan prinsip pelestarian lingkungan.  Seringkali dalam upaya untuk memanfaatkan dan mengelola potensi ekowisata  yang ada pihak pengelola dihadapkan pada masalah klasik seperti lemahnya dalam pemantauan kwalitas lingkungan, kondisi sarana dan prasarana dan kurangnya kemampuan SDM dalam menjaga sumberdaya lingkungan yang ada (Mardiastuti, 2000).

III. METODE PRAKTIK LAPANG
A. Waktu dan Tempat
            Praktik lapang ini dilasanakan pada hari Sabtu, tanggal 12 Mei 2017 Pukul 08.00 WITA sampai selesai, yang berlokasi di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.2. Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan
No.
Alat dan Bahan
Keguanaan
A.



B.
Alat
-       Kamera
-       Alat tulis menulis
-       Buku
Bahan
-       Hutan Mangrove
Dokumentasi
Menulis
Menulis

Diamati

3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada praktek lapang ini adalah menggunakan metode survey dan observasi sehingga data yang diperoleh berupa data primer. Data primer adalah data yang berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan,  dan hasil pengujian. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu metode survey dan metode observasi.
           


IV. HASIL DAN PEMBAHSAN
A. Hasil
a. Gambaran Umum Lokasi
 








Gambar 1. Kawasan Perencanaan Bisnis
                  (Sumber: Google Map, 2017)

Secara geografis perencanaan kawasan bisnis pariwisata yang berbasis ekowiasata dan masyarakat ini berletak di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa, Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe Selatan. Provinsi sulawesi Tenggara. Yang terletak pada posisi geografis 25' 13.7” LS dan 122° 50' 51.7” BT. Hal inilah yang membuat perencanaan pembangunan kawasan bisnis pariwisata ditempat ini sangat strategis karena selain memiliki pemandangan yang indah, temapat ini juga berdekatan dengan pelabuahan penyebrangan antara pulau. Secara umum, ekosistem pada perencanaan kawasan bisnis ini dapat dikelompokan dalam dua type yang berbeda, yaitu :
a.       Ekosistem hutan Mangrove. Struktur hutan mangrove ini sangat sederhana
karena terdiri dari satu lapisan tajuk pohon dengan jenis-jenis yang relatif
sedikit. Jenis-jenis tumbuhan yang umum di jumpai adalah Bakau
(Rhizobhara sp.), dan Api-api (Avicenia sp.). Sedangkan jenis-jenis satwa
yang umum di jumpai pada daerah perairan hutan mangrove adalah Ikan Glodok, Kepiting dan Udang. Akan tetapi memiliki cakupan wilayah yang sangat luas dan masih asri, sehinggah kawasan ini sanagat cocok untuk dijadikan kawasan pariwisata berbasis ekosistem. 
b.      Ekosistem Hutan Pantai. Areal hutan pantai Cagar Alam kawasan ini di bagian Utara, Barat dan Selatan Terutama pada pantai dengan pesisir yang landai. Jenis-jenis tumbuhan terdiri dari ketapang (Terminalia catapa), Adapun jenis-jenis satwa liar yang sering di jumpai pada kawasan pantai ini antara lain : Biawak (Varanus sp), Umang Laut dan lain-lain. Sedangkan pada daerah perairan hutan mangrove adalah Ikan Glodok, Kepiting dan  Udang
Tabel. 2 Beberapa unsur dan variabel dalam Analisis SWOT Ekowisata












(Sumber: Gunn dalam Damanik dan Weber (2006))


B. Pembahasan
1. Konsep Perencanaan Wisata
            Berdasarkan uraian diatas maka kawan bisnis yang dapat direncanakan pembangunannya di kawasan hutan mangrove pada Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa yaitu Bisnis Wisata Trekking Mangrove, dengan berbagai atraksi yang ditawarkan didalamnya. Adapun atraksi-atraksi ini sebagai berikut :
1)      Mengelilingi Hutan Mangrove :
Jangan berpikir untuk melihat wisata trekking mangrove ini kita harus berbecek – becek dengan lumpur, karena habitat dari mangrove adalah air payau dan lumpur. Untuk melihat dan menikmati kawasan hijau wisata trekking mangrove ini, pengelola wisata akan  menyediakan jalan setapak dari kayu yang melalui bagian dalam dari wisata trekking mangrove ini. Sejak para wisatawan memasuki kawasan wisata trekking mangrove ini wisatawan akan dibuat terkesima dengan pemandangan hutan mangrove yang jarang bisa kita lihat dari jarak dekat, apalagi sambil berjalan kaki. Tidak hanya itu saja di beberapa titik disediakan tempat khusus untuk menikmati keindahan hutan mangrove ini sambil duduk dan menghirup segarnya udara sekitar. Bahkan di bagian tengah hutan disediakan tower untuk melihat hampir seluruh kawasan wisata trekking mangrove ini dari ketinggian.






Gambar 1. Penampakan dari atas tower wisata trekking mangrove
(Sumber: Google image, 2017)
Saat mengelilingi hutan mangrove ini, wisatakan bukan hanya akan melihat puluhan pohon mangrove saja, namun juga terdapat melihat puluhan fauna yang hidup dengan damai. Fauna yang  paling menonjol pada kawan hutan mangrove yang akan dijadikan objek wisata ini  adalah kepiting. Bahkan mungkin hutan mangrove ini sebenarnya adalah kerajaan kepiting yang tersembunyi.
 








Gambar 1. Penampakan dari atas tower wisata trekking mangrove
(Sumber: Google image, 2017)
2)      Jembatan gantung
            Jembatan gantung adalah jembatan yang membentang dari sisi satu kesisi yang lain dengan penopang utamanya yaitu tali yang digantung pada tiang-tiang. Keberadaan jembatan diharapkan akan menjadi salah satu daya tarik  yang dapat mendatangkan para wisatawan lokal se Sulawesi Tenggara ke objek wisata ini. Pihak pengelola wisata juga nantinya akan menyediakan tempat foto yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat foto pre-wedding bagi pasangan yang akan melansungkan pernikahan, atau hanya sekedar berfoto ria mengabadikan momen keindahan alam yang disajikan wisata ini bersama teman, sahabat atau bersama keluarga yang datang bersama-sama ke objek wisata ini.

 






Gambar 3.Jembatan Gantung
(Sumber; Google image, 2017)
3)      Flying Fox
Awalnya flying fox adalah jenis permainan outbound dengan cara meluncur diantara dua lembah dengan ketinggian 25 meter diatasnya, namun pihak pengelola akan menghadirkan game Flying fox ini di objek wisata hutan mangrove. Adapun  Jalur lintasan game outbound flying fox yaitu sepanjang 125 meter berupa kawat baja yang disebut sling. Game outbound flying fox di tempat wisata hutan mangrove ini akan menggunakan double sling yaitu sling bagian atas ukuran 9 milimeter dan sling bagian bawah ukuran 10 milimeter dimana masing-masing sling mampu menahan beban sampai 1,5 ton. Penggunaan double sling ini bertujuan untuk keamanan ganda (double safety) bagi wisatawan yang akan mencoba atraksi yang ditawarkan objek
wisata hutan mangrove ditempat ini.
 






Gambar 4. Flying Fox
(Sumber; Google image, 2017)
4)      Perahu dan Sepeda Air Wisata
Sepeda Air Wisata adalah jenis sepeda yang dapat dioprasikan diatas air. sepeda air wisata ini biasanya mempunyai banyak bentuk yang unik dengan tujuan menarik minat wisatawan untuk mencoba menaikinya bersama pacar, teman, sahabat atau bersama keluarga. Pada objek wisa ini pengelola akan menyediakan perahu dan sepeda air dengan bentuk angsa, bebek, kuda laut, dan bentuk unik lainnya dengan jenis warna yang bermacam-macam.





                                                                                 
Gambar 5. Perahu dan Sepeda Air Wisata
(Sumber; Google image, 2017)
2. Strategi dan Prinsip Pengelolaan
a.       Melakukan kerja sama dengan  Dinas Pariwisata setempat : tujuannya agar seluruh cakupan aksebilitas wisata ini dapat didukung dan dikembangkan lebih maksimal lagi agar para wisatawan yag berkunjung dapat merasakan kenyamanan dalam berwisata, sehingga wisatawan memiliki keinginanan untuk melakukan kunjuangan lagi di wisata ini.
b.      Pengelola pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat. Hal ini penting karena pengalaman pada beberapa daerah tujuan wisata (DTW), sama sekali tidak melibatkan masyarakat setempat, akibatnya tidak ada sumbangsih ekonomi yang diperoleh masyarakat sekitar.
c.       Mengajak masyarakat sekitar  agar menyadari peran, fungsi dan manfaat pariwisata serta merangsang mereka untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tercipta bagi berbagai kegiatan yang dapat menguntungkan secara ekonomi. Masyarakat diberikan kesempatan untuk memasarkan produk produk lokal serta membantu mereka untuk meningkatkan keterampilan dan pengadaan modal bagi usaha-usaha yang mendatangkan keuntungan
d.      Sarana dan prasarana yang dibutuhkan perlu dipersiapkan secara baik untuk menunjang kelancaran pariwisata. Pengadaan dan perbaikan jalan, telepon, angkutan, pusat perbelanjaan wisata dan fasilitas lain di sekitar lokasi wisata sangat diperlukan
e.       Promosi dan Pemasaran, Kegiatan promosi yang dilakukan harus beragam,yaitu melakukan kampanye melalui pamphlet-pamflet yang berisi visi dan misi wisata, keunggulan, vasilitas yang disediakan, dan atraksi-atrasi yang disajikan wisata ini. kegiatan promosi juga perlu dilakukan dengan membentuk  system informasi yang handal dan membangun kerjasama yang baik dengan pusat-pusat informasi pariwisata didaerah lain selingkup Sulawesi Tenggara. Selain itu juga pengelolaa akan mengadakan event-event bulanan dengan membuat perlomba yang beragam dikawasan ini dan pastinya berbasis ekowisata agar kawasan wisata ini dapat menarik wisatawan dan dikenal luas dengan sajiannya yang unik dan beragam.

V. SIMPULAN
A. Simpulan
Bisnis yang sesuai untuk diterapkan pada Kawasan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Desa Amolengo dan Desa Ulunesa yaitu Bisnis Pariwisata berbasis ekowisata, maka strategi dan prinsip yang harus diterapkan pada pengelolaan kawasan wisata ini yaitu dengan melihat kelangsungan masyarakat dan pelaku wisata yang ada dalam kawasan tersebut, selain itu pengelola harus memerhatikan: jumlah wisatawan; karakteristik wisatawan dengan berbagai keinginan untuk berwisata; tipe dari aktivitas ekowisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan ekowisata; struktur masyarakat yang berada pada kawasan ekowisata; kondisi lingkungan sekitar yang berada pada kawasan tersebut; kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perekembangan kepariwisataan, saranan dan prasarana yang disediakan kawasan wisata, serta daya dukung aksebilitas dari pemerintah untuk mengembangkan objek wisata ini. Sehingga para wisatawan dapat tertarik untuk datang ke kawasan wisata yang berada di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa, Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe Selatan.
B. Saran
            Saran yang dapat kami berikan yaitu, perlunya peran pemerintah untuk melihat potensi bisnis wilayah dikawasan ini dan memberikan daya dukung aksebilitas bagi pelaku yang ingin membangun  bisnisnya pada wilayah tersebut, sehingga peningkatan ekonomi masyarakat pesisir juga dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
Alam, P. 2012. Ekowisata.http://id.wikipedia.org
Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Bengen, D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya 
Damanik, J dan Weber, H F. 2006. Perencanaan Ekowisata - Teori ke Aplikasi. Puspar UGM dan Andi. Yogyakarta.
Kusnadi, 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Humaniora. Bandug
Lascurian. 1987.  Konsep Ekowisata http://old.planeta.com/ecotravel/weaving/hectorceballos.html. Diakses tanggal 8 Juni 2017. 
Mardiastuti, A. 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekotourisme di Taman Nasional. Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan Ekoturisme di Taman Nasional Cisarua. Bogor.
Nugroho, I dan  Dahuri, R. 2012. Pembangunan Wilayah : Perpektif  Ekonomi, social, dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Satria, D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Malang. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol.3 No.1 Mei 2009. Hal 37-47.
Setyadi, I. A., Hartoyo, Maulana, A., Muntasib. 2012. Strategi Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen & Agrobisnis, Vol. 9 No. 1 Maret 2012. 1-12
Sudirman, D. 2013. Kajian Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata Taman , Nasional Subangau. Jurnal Imu Sosial. Volume 5, No. 1, Februari 2013. 23-30.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional, Surabaya
Undang – undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil