I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia mempunyai
keragaman yang tinggi dalam ekosistem (teresterial dan akuatik) serta bentukan
fisik (features, forms, and forces).
Keragaman ini merupakan daya tarik utama yang menjadikan wilayah pesisir
sebagai wilayah yang paling berpotensi, terutama dalam pengembangan sektor
pariwisata karena memiliki berbagai potensi wisata alam. Salah satu potensi
wilayah pesisir di Indonesia yang memiliki potensi disektor pariwisa berada di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa
Kecamatan Konolo Timur, Kabupaten Konawe Selatan. Dimana ditempat ini terdapat
suatu kawasan hutan mangrove yang masih terjaga, sehingga sangat berpotensi untuk
dijadikan suatu kawasan bisnis pariwisata yang berbasis masyarakat dan ekowisata.
Wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama
keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat
menarik dan menguntungkan. Namun seiring dengan berkembangnya industri pariwisata ini,
kawasan pesisir mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks. Tingkat
kerusakan ekologis pada beberapa daerah pesisir, tersebut telah mencapai atau melampaui daya dukung lingkungan
dan kapasitas keberlanjutannya, sehingga diperlukan tindakan-tindakan perbaikan dalam bentuk perencanaan fisik kawasan
pariwisata di daerah pesisir pantai. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk perkembangan
pariwisata daerah adalah melalui
perencanaan kawasan yang berkonsep ekowisata.
Ekowisata merupakan suatu
konsep wisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah
keseimbangan dan kelestarian yang bertujuan mengintegrasikan tujuan konservasi
alam dengan tujuan pembangunan ekonomi dengan melibatkan masyarakat lokal. Pada
wilayah pesisir Desa Amolengo dan Desa Ulunesa mempunyai suatu kawasan hutan
mangrove yang memiliki potensi sebagai tempat pembangunan kawasan bisnis
pariwisata berbasis ekowisata, dimana didalamnya dapat disajikan atraksi perahu
kayuh atau sepeda air, atraksi jembatan
gantung dan Flying Fox diatas hutan
mangrove.
Berdasarkan latar belakang
diatas maka penting untuk melakukan suatu
uraian perencanaan kawasan bisnis yang berbasis ekowisata, agar dalam
proses pembangunan dan pelaksanaan nantinya, kawasan bisnis ini dapat berjalan
dengan lancar serta dapat menghindari berbagai bentuk resiko-resiko yang dapat
mengancam keberlanjutan hujan mangrove atau bisnis pariwisata itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa potensi
ekowisata di daerah pesisis Desa Amolengo dan Desa Ulunesa?
2.
Prinsip apa
saja yang harus dipakai dalam perencanaan kawasan bisnis
pariwisata pada daerah pesisir ?
3.
Bagaimana
strategi pengembangan bisni pariwisata berbasis ekowisata dan masyarakat ini ?
4.
Apa saja
manfaat yang ditimbulkan kawasan bisnis pariwisata ini untuk masyarakat
pesisir ?
C. Tujuna dan Manfaat
Tujuan praktikum ini, untuk melihat bisnis yang sesuai untuk
diterapkan pada Kawasan Hutan Mangrove di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa,
selanjutnya merencanakan prinsip dan strategi dalam pembangunan dan
pengembangan kawasan bisnis di Desa Amolengo dan Desa Ulunesa, Kecamatan Kolono
Timur, Kabupaten Konawe Selatan
Manfaat praktikum ini yaitu, untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya hayati yang dimiliki daerah Kecamatan Kolono
Timur, selain itu dengan perencanaan kawasan bisnis ini, masyarat sekitar dapat
memperoleh peningkatan ekonomi keluarga mereka dengan ikut terlibat dalam
pengelolaan dan pemasaran bisnis ini
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Perencanaan Kawasan Pariwisata di
Wilayah Pesisir
Rumusan
ekowisata sendiri sebenarnya pernah dikemukakan oleh Hector Ceballos –Lascurain pada tahun 1987 sebagai
berikut: “Ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan
relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari,
mengagumi dan menikmati pemandangan, flora
dan fauna, serta bentuk-bentuk
manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa
kini”, bagi kebanyakan orang, terutama para pencinta lingkungan. Rumusan yang
dikemukakan oleh Hector Ceballos-Lascurain tersebut belumlah cukup untuk
menggambarkan dan menerangkan kegiatan ekowisata. Penjelasan di atas dianggap
hanyalah penggambaran dari kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian
disempurnakan oleh The International
Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, sebagai berikut: “Ekowisata
adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan
kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”.
Ekowisata
merupakan upaya untuk memaksimalkan dan
sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat
untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan bagi kehidupan
masyarakat sekitar pesisir. (Alam, 2012). Setelah berlakunya Undang – undang
nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, istilah objek wisata diganti
menjadi daya tarik wisata yang mengandung pengertian segala sesuatu keunikan, keindahan
dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia
yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Dari pemahaman mengenai
potensi ekowisata tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi ekowisata terkait
dengan penawaran wisata.
Menurut Damanik
dan Weber (2006), Elemen penawaran wisata terdiri atas :
a. Atraksi.
Atraksi dibedakan menjadi atraksi yang tangible dan intangible yang memberikan
kenikmatan kepada wisatawan baik yang berupa kekayaan alam, budaya dan hasil
buatan manusia.
b. Aksesbilitas.
Cakupan aksesbilitas yaitu keseluruhan sarana dan prasarana transportasi yang
melayani wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata.
c. Amenitas. Fungsi Amenitas lebih kepada
pemenuhan kebutuhan wisatawan sehingga sering kali tidak berhubungan langsung
terkait dengan bidang pariwisata.
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah wilayah
pesisir terdiri atas sumber daya hayati, sumber daya non-hayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber
daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;
sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di
Wilayah Pesisir.
Sumberdaya alam
yang produktif ekosistem pesisir dan laut merupakan penyedia jasa pendukung
kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya
segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan ekosistem
pesisir dan laut merupakan lokasi indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat
rekreasi atau parawisata (Bengen, 2004).
Pembangunan
wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan
merupakan kebijakan penting Depatermen Kalutan dan Perikanan. Kebijakan
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah peisisr dan laut secara
ekologis dan ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi
kesejahteraan rakyat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun
pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya
pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Pengembangan ekowisata merupakan
salah satu alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah
tersebut (Tuwo, 2011).
B. Prinsip Perencanaan Kawasan Pariwisata pada
Daerah Pesisir
Menurut
Kusnadi (2014), Prinsip – prinsip perencanaan kawasan pariwisata pada wilayah
pesisir dapat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan berikut:
a) Mengetahui
profil wilayah kawasan pesisir yang menjadi perencanaan seperti kondisi fisik
alam,
b) Sosial
budaya dan ekonomi kawasan pesisir yang menjadi kawasan perencanaan seperti
kehidupan atau taraf sosial masyarakat yang tinggal pada kawasan pesisir tersebut
contohnya peluang usaha.
c) Aksesbilitas kawasan pesisir yang menjadi kawasan perencanaan
yaitu, akses jaringan transportasi yang baik untuk mencapai kawasan pariwisata
pesisir tersebut.
d) Amenitas Wisata merupakan segala sesuatu yang memberikan kemudahan
bagi wisatawan untuk memenuhi kebutuhannya selama berwisata dikawasan pesisir
tersebut. Kondisi terkini dari amenitas (fasilitas pelayanan) berupa hotel dan
akomodasi serta restoran (rumah makan).
e) Atraksi Wisata adalah segala sesuatu yang disuguhkan oleh pemerintah
maupun masyarakat yang dapat menambah
minat para wisatawan untuk datang pada kawasan pesisir yang berbasis ekowisata.
Contohnya, atraksi kesenian, surfing
( apabila memiliki ombak yang bagus ).
Tuwo
(2011), menjelaskan beberapa prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi
agar dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut :
1. Mencegah
dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan
budaya masyarakat lokal.
2. Mendidik
atau menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi.
3. Mangatur
agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan management pengelola kawaasan
peletarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.
4. Masyarakat
dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata.
5. Keuntungan
ekonomi yang diperoleh secara nyata dari kegiatan ekowisata harus dapat
mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dan laut.
6. Semua
upaya pengembangan, termaksud pengembangan
fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga keharmonisasian dengan alam.
7. Pembatasan
pemenuhan permintaan, karena umumnya daya dukung ekosistem alamiah lebih rendah
daripada daya dukung ekosistem buatan.
8. Apabila
suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka
devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proposional dan adil
untuk pemerintah pusat dan daerah.
C. Manfaat Dan Dampak Kawasan Pesisir Berbasis
Ekowisata
a. Manfaat Kawasan Pesisir sebagai kawasan
Ekowisata.
Nugroho dan Dahuri (2012), juga
menjelaskan posisi kritikal dalam pengembangan ekowisata sesungguhnya terletak
pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau pemda. Di tingkat lokal
tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata dan permintaan pengunjung.
Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi kendala seperti dihadapi bisnis
umumnya. Namun jasa ekowisata perlu lebih serius ditangani agar supaya
menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi
lingkungan dan budaya setempat.
Kawasan relatif baru yang memiliki potensi sumberdaya alam
yang baik juga memerlukan adanya
pemasaran yang baik pula. Dimana pemasaran memberikan kebutuhan akan
kegiatan manusia melalui proses pertukaran. Faktor-faktor yang merupakan inti
pemasaran adalah produk, harga, promosi dan distribusi. Kebijaksanaan bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang kepa-riwisataan, usaha swasta
atau pemerintah, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, na-sional dan
internasional harus diupayakan mencapai kepuasan optimal wisatawan.
Ke-butuhan-kebutuhan wisatawan dapat dipenuhi dan pelaku usaha wisata
memperoleh keuntungan yang wajar (Sudirman, 2013).
Aktivitas ekowisata saat ini tengah
menjadi tren yang menarik yang dilakukkan oleh para wisatawan untuk menikmati
bentuk-bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang
dilakukkan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya
konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi
terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan
antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada
sebelumnya (Satria, 2009).
b. Dampak Kawasan Pesisir sebagai kawasan Ekowisata.
Satria (2009), menjelaskan walaupun
banyak nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep ekowisata, namun model
ini masih menyisakan persoalan terhadap pelaksanaanya. Beberapa kritikan
terhadap konsep ekowisata
antara
lain:
1. Dampak
negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Meski konsep ecotourism
mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini
selain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar
dan turis tentang konsep ekowisata, juga disebabkan karena lemahnya manajemen
dan peran pemerintah dalam mendorong upaya konservasi dan tindakan yang tegas
dalam mengatur masalah kerusakan lingkungan.
2. Rendahnya
partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Dalam pengembangan wilayah Ekowisata
seringkali melupakan partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata.
Masyarakat sekitar seringkali hanya sebagai obyek atau penonton, tanpa mampu
terlibat secara aktif dalam setiap proses-proses ekonomi didalamnya.
3. Pengelolaan
yang salah. Persepsi dan pengelolaan yang salah dari konsep ekowisata
seringkali terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Hal ini selain disebabkan
karena pemahaman yang rendah dari konsep Ekowisata juga disebabkan karena
lemahnya peran dan pengawasan pemerintah untuk mengembangkan wilayah wisata
secara baik.
Mengembangkan
pengelolaan ekowisata, diperlukan koordinasi antar lembaga dalam penanganan wisata diperlukan
untuk menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir. Adanya berbagai
pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan
pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Konservasi
sumber daya alam tetap merupakan isu utama dalam pengelolaan wisata bahari di
kawasan pesisir. Perkembangan pariwisata juga bergantung pada aspek
suprastruktur dan infrastrukur. Aspek suprastruktur merupakan fasilitas
penunjang untuk pengunjung seperti
penginapan, restoran, kolam renang, dll. Aspek infrastruktur meliputi ketersediaan air bersih, pembuangan
sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport, jalan, pelabuhan, dll. Tanpa
adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan menyebabkan dampak negatif
(Amanah dan Utami, 2006).
Setyadi dkk (2012), mengungkapkan bahwa kendala dalam
pengembangan ekowisata diantaranya adalah mengenai jarak tempuh suatu kawasan
wisata berada dan pusat kota, aksesibilitas, peran pelaku pembangungan
(masyarakat dan pemerintah) , pengetahuan tentang konsep ekowisata yang masih
terbatas, dan tingkat kunjungan wisatawan yang masih rendah.
D. Strategi
Pengelolaan Potensi Ekowisata
Pengelolaan potensi ekowisata
merupakan upaya untuk memanfaatkan hingga mendayagunakan potensi–potensi wisata
khususnya potensi ekowisata untuk kepentingan pelestarian lingkungan dan
kesejahteraan masyarakat. Konsep pengelolaan ekowisata secara umum serupa
dengan konsep pengelolaan kegiatan yang
berhubungan dengan pemanfaatan potensi alam. Sejumlah kawasan yang memiliki daya tarik wisata alam yang umumnya
merupakan daerah yang ditetapkan sebagai
pusat kegiatan pelestarian sumberdaya dan lingkungan. Untuk itu dalam pemanfaatan nantinya perlu
menerapkan prinsip pelestarian lingkungan.
Seringkali dalam upaya untuk memanfaatkan dan mengelola potensi
ekowisata yang ada pihak pengelola
dihadapkan pada masalah klasik seperti lemahnya dalam pemantauan kwalitas
lingkungan, kondisi sarana dan prasarana dan kurangnya kemampuan SDM dalam
menjaga sumberdaya lingkungan yang ada (Mardiastuti,
2000).
III. METODE PRAKTIK LAPANG
A. Waktu dan
Tempat
Praktik
lapang ini dilasanakan pada hari Sabtu, tanggal 12 Mei 2017 Pukul 08.00 WITA sampai selesai, yang berlokasi di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe
Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.2. Alat dan Bahan
Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan
No.
|
Alat dan
Bahan
|
Keguanaan
|
A.
B.
|
Alat
- Kamera
- Alat tulis
menulis
- Buku
Bahan
-
Hutan Mangrove
|
Dokumentasi
Menulis
Menulis
Diamati
|
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada praktek
lapang ini adalah menggunakan metode survey dan observasi sehingga data yang diperoleh berupa data primer. Data primer
adalah data yang berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok,
hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Metode yang digunakan
untuk mendapatkan data primer yaitu metode survey
dan metode observasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHSAN
A. Hasil
a. Gambaran Umum Lokasi
Gambar 1. Kawasan
Perencanaan Bisnis
(Sumber: Google Map,
2017)
Secara
geografis perencanaan kawasan bisnis pariwisata yang berbasis ekowiasata dan
masyarakat ini berletak di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa, Kecamatan Kolono
Timur, Kabupaten Konawe Selatan. Provinsi sulawesi Tenggara. Yang terletak pada
posisi geografis 4° 25' 13.7” LS dan 122° 50' 51.7” BT. Hal inilah yang membuat perencanaan
pembangunan kawasan bisnis pariwisata ditempat ini sangat strategis karena
selain memiliki pemandangan yang indah, temapat ini juga berdekatan dengan
pelabuahan penyebrangan antara pulau. Secara umum, ekosistem pada perencanaan
kawasan bisnis ini dapat dikelompokan dalam dua type yang berbeda, yaitu :
a.
Ekosistem
hutan Mangrove. Struktur hutan mangrove ini sangat sederhana
karena terdiri dari satu lapisan tajuk pohon dengan jenis-jenis yang
relatif
sedikit. Jenis-jenis tumbuhan yang umum di jumpai adalah Bakau
(Rhizobhara sp.), dan Api-api (Avicenia sp.). Sedangkan
jenis-jenis satwa
yang umum di jumpai pada daerah perairan hutan mangrove adalah Ikan Glodok,
Kepiting dan Udang. Akan tetapi memiliki
cakupan wilayah yang sangat luas dan masih asri, sehinggah kawasan ini sanagat
cocok untuk dijadikan kawasan pariwisata berbasis ekosistem.
b.
Ekosistem
Hutan Pantai. Areal hutan pantai Cagar Alam kawasan ini di bagian Utara, Barat
dan Selatan Terutama pada pantai dengan pesisir yang landai. Jenis-jenis
tumbuhan terdiri dari ketapang (Terminalia
catapa), Adapun jenis-jenis satwa liar yang sering di jumpai pada kawasan
pantai ini antara lain : Biawak (Varanus
sp), Umang Laut dan lain-lain. Sedangkan pada daerah perairan hutan mangrove
adalah Ikan Glodok, Kepiting dan Udang
Tabel. 2 Beberapa unsur dan variabel dalam
Analisis SWOT Ekowisata
(Sumber: Gunn dalam Damanik dan Weber (2006))
B. Pembahasan
1.
Konsep Perencanaan Wisata
Berdasarkan uraian diatas maka kawan bisnis yang dapat
direncanakan pembangunannya di kawasan hutan mangrove pada Desa Amolenggo dan
Desa Ulunesa yaitu Bisnis Wisata Trekking Mangrove, dengan berbagai atraksi
yang ditawarkan didalamnya. Adapun atraksi-atraksi ini sebagai berikut :
1)
Mengelilingi
Hutan Mangrove :
Jangan berpikir untuk melihat wisata
trekking mangrove ini kita harus berbecek – becek dengan lumpur, karena habitat
dari mangrove adalah air payau dan lumpur. Untuk melihat dan menikmati kawasan
hijau wisata trekking mangrove ini, pengelola wisata akan menyediakan jalan setapak dari kayu yang
melalui bagian dalam dari wisata trekking mangrove ini. Sejak para wisatawan
memasuki kawasan wisata trekking mangrove ini wisatawan akan dibuat terkesima
dengan pemandangan hutan mangrove yang jarang bisa kita lihat dari jarak dekat,
apalagi sambil berjalan kaki. Tidak hanya itu saja di beberapa titik disediakan
tempat khusus untuk menikmati keindahan hutan mangrove ini sambil duduk dan
menghirup segarnya udara sekitar. Bahkan di bagian tengah hutan disediakan
tower untuk melihat hampir seluruh kawasan wisata trekking mangrove ini dari
ketinggian.
Gambar 1. Penampakan dari atas tower wisata trekking mangrove
(Sumber: Google image, 2017)
Saat mengelilingi hutan
mangrove ini, wisatakan bukan hanya akan melihat puluhan pohon mangrove saja,
namun juga terdapat melihat puluhan fauna yang hidup dengan damai. Fauna
yang paling menonjol pada kawan hutan
mangrove yang akan dijadikan objek wisata ini
adalah kepiting. Bahkan mungkin hutan mangrove ini sebenarnya adalah
kerajaan kepiting yang tersembunyi.
Gambar 1. Penampakan dari
atas tower wisata trekking mangrove
(Sumber:
Google image, 2017)
2)
Jembatan gantung
Jembatan
gantung adalah jembatan yang membentang dari sisi satu kesisi yang lain dengan
penopang utamanya yaitu tali yang digantung pada tiang-tiang. Keberadaan
jembatan diharapkan akan menjadi salah satu daya tarik yang dapat mendatangkan para wisatawan lokal se
Sulawesi Tenggara ke objek wisata ini. Pihak pengelola wisata juga nantinya
akan menyediakan tempat foto yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat foto pre-wedding bagi pasangan yang akan
melansungkan pernikahan, atau hanya sekedar berfoto ria mengabadikan momen
keindahan alam yang disajikan wisata ini bersama teman, sahabat atau bersama
keluarga yang datang bersama-sama ke objek wisata ini.
Gambar 3.Jembatan Gantung
(Sumber;
Google image, 2017)
3)
Flying
Fox
Awalnya flying fox
adalah jenis permainan outbound
dengan cara meluncur diantara dua lembah dengan ketinggian 25 meter diatasnya,
namun pihak pengelola akan menghadirkan game
Flying fox ini di objek wisata hutan mangrove. Adapun Jalur lintasan game outbound flying fox
yaitu
sepanjang 125 meter berupa kawat baja yang disebut sling. Game
outbound flying fox di tempat wisata
hutan mangrove ini akan menggunakan double sling yaitu sling bagian atas ukuran 9 milimeter dan sling bagian bawah ukuran 10 milimeter
dimana masing-masing sling mampu
menahan beban sampai 1,5 ton. Penggunaan double
sling ini bertujuan untuk keamanan ganda (double safety) bagi wisatawan yang
akan mencoba atraksi yang ditawarkan objek
wisata hutan mangrove ditempat ini.
Gambar
4. Flying Fox
(Sumber;
Google image, 2017)
4) Perahu
dan Sepeda Air Wisata
Sepeda Air Wisata adalah jenis sepeda yang dapat
dioprasikan diatas air. sepeda air wisata ini biasanya mempunyai banyak bentuk
yang unik dengan tujuan menarik minat wisatawan untuk mencoba menaikinya
bersama pacar, teman, sahabat atau bersama keluarga. Pada objek wisa ini
pengelola akan menyediakan perahu dan sepeda air dengan bentuk angsa, bebek,
kuda laut, dan bentuk unik lainnya dengan jenis warna yang bermacam-macam.
Gambar 5. Perahu dan Sepeda Air Wisata
(Sumber;
Google image, 2017)
2. Strategi dan Prinsip
Pengelolaan
a. Melakukan
kerja sama dengan Dinas Pariwisata setempat
: tujuannya agar seluruh cakupan aksebilitas wisata ini dapat didukung dan
dikembangkan lebih maksimal lagi agar para wisatawan yag berkunjung dapat
merasakan kenyamanan dalam berwisata, sehingga wisatawan memiliki keinginanan
untuk melakukan kunjuangan lagi di wisata ini.
b. Pengelola
pariwisata harus melibatkan masyarakat setempat. Hal ini penting karena
pengalaman pada beberapa daerah tujuan wisata (DTW), sama sekali tidak
melibatkan masyarakat setempat, akibatnya tidak ada sumbangsih ekonomi yang
diperoleh masyarakat sekitar.
c. Mengajak masyarakat sekitar agar menyadari peran, fungsi dan manfaat pariwisata
serta merangsang mereka untuk memanfaatkan peluang-peluang yang tercipta bagi
berbagai kegiatan yang dapat menguntungkan secara ekonomi. Masyarakat diberikan
kesempatan untuk memasarkan produk produk lokal serta membantu mereka untuk
meningkatkan keterampilan dan pengadaan modal bagi usaha-usaha yang
mendatangkan keuntungan
d. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan
perlu dipersiapkan secara baik untuk menunjang kelancaran pariwisata. Pengadaan
dan perbaikan jalan, telepon, angkutan, pusat perbelanjaan wisata dan fasilitas
lain di sekitar lokasi wisata sangat diperlukan
e. Promosi dan Pemasaran, Kegiatan
promosi yang dilakukan harus beragam,yaitu melakukan kampanye melalui
pamphlet-pamflet yang berisi visi dan
misi wisata, keunggulan, vasilitas
yang disediakan, dan atraksi-atrasi yang disajikan wisata ini. kegiatan promosi
juga perlu dilakukan dengan membentuk system informasi yang handal dan
membangun kerjasama yang baik dengan pusat-pusat informasi pariwisata didaerah
lain selingkup Sulawesi Tenggara. Selain itu juga pengelolaa akan mengadakan event-event bulanan dengan membuat
perlomba yang beragam dikawasan ini dan pastinya berbasis ekowisata agar
kawasan wisata ini dapat menarik wisatawan dan dikenal luas dengan sajiannya
yang unik dan beragam.
V. SIMPULAN
A. Simpulan
Bisnis
yang sesuai untuk diterapkan pada Kawasan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir
Desa Amolengo dan Desa Ulunesa yaitu Bisnis Pariwisata berbasis ekowisata, maka
strategi dan prinsip yang harus diterapkan pada pengelolaan kawasan wisata ini yaitu
dengan melihat kelangsungan masyarakat dan pelaku wisata yang ada dalam kawasan
tersebut, selain itu pengelola harus memerhatikan: jumlah wisatawan;
karakteristik wisatawan dengan berbagai keinginan untuk berwisata; tipe dari
aktivitas ekowisata yang dapat ditawarkan pada sebuah kawasan ekowisata;
struktur masyarakat yang berada pada kawasan ekowisata; kondisi lingkungan
sekitar yang berada pada kawasan tersebut; kemampuan masyarakat untuk beradaptasi
terhadap perekembangan kepariwisataan, saranan dan prasarana yang disediakan
kawasan wisata, serta daya dukung aksebilitas dari pemerintah untuk
mengembangkan objek wisata ini. Sehingga para wisatawan dapat tertarik untuk
datang ke kawasan wisata yang berada di Desa Amolenggo dan Desa Ulunesa,
Kecamatan Kolono Timur, Kabupaten Konawe Selatan.
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan yaitu, perlunya peran pemerintah
untuk melihat potensi bisnis wilayah dikawasan ini dan memberikan daya dukung
aksebilitas bagi pelaku yang ingin membangun
bisnisnya pada wilayah tersebut, sehingga peningkatan ekonomi masyarakat
pesisir juga dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, P. 2012.
Ekowisata.http://id.wikipedia.org
Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan
Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan
Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan
Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan
Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Bengen, D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya
Damanik, J dan Weber, H F. 2006. Perencanaan Ekowisata - Teori ke
Aplikasi. Puspar UGM dan Andi. Yogyakarta.
Kusnadi, 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Humaniora. Bandug
Lascurian. 1987. Konsep
Ekowisata http://old.planeta.com/ecotravel/weaving/hectorceballos.html.
Diakses tanggal 8 Juni 2017.
Mardiastuti, A. 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan
Ekotourisme di Taman Nasional. Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan Ekoturisme
di Taman Nasional Cisarua. Bogor.
Nugroho, I dan Dahuri, R.
2012. Pembangunan Wilayah : Perpektif Ekonomi,
social, dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Satria, D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi
Lokal Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Malang. Journal Of Indonesian Applied Economics.
Vol.3 No.1 Mei 2009. Hal 37-47.
Setyadi, I. A., Hartoyo, Maulana, A., Muntasib. 2012. Strategi
Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal
Manajemen & Agrobisnis, Vol. 9 No. 1 Maret 2012. 1-12
Sudirman, D. 2013. Kajian Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata
Taman , Nasional Subangau. Jurnal Imu Sosial. Volume 5, No. 1, Februari 2013.
23-30.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian
Internasional, Surabaya
Undang
– undang nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil